Minggu, 15 Maret 2015

My Song


Cerpen ini dibuat untuk tugas bahasa indonesia tapi baru bisa posting sekarang. Cerpen asalan gue ini terinspirasi dari karakter anime, Iwasawa di Angel Beats dan lagunya. Jadi maaf kalo ada kesamaan ceritanya. Iwasawa itu karakter favorit gue btw. Genre cerita ini Drama dan Gaje(?) alur. Cekidot!

          Manusia adalah makhluk sosial. Mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka dilahirkan ke dunia ini untuk saling melengkapi satu sama lain. Namun hal tersebut tidak sependapat denganku. Aku merasa bahwa aku dilahirkan sebagai manusia yang ditakdirkan untuk hidup sendirian di muka bumi ini. Meskipun aku memiliki keluarga dan teman tapi mereka tidak mampu menghilangkan rasa sepi yang sering melanda kepadaku. Keluargaku bisa dikatakan sebagai orang yang kaya. Oleh karena itu orang tuaku sangat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, demi mempertahankan kekayaan mereka. Aku memiliki seorang adik laki-laki yang duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata untuk anak seumurannya. Wajar saja jika ia sering mengikuti berbagai macam perlombaan baik tingkat nasional maupun internasional. Sedangkan aku adalah seorang siswi biasa yang sedang menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah atas.
            Semua orang pasti memiliki mimpinya masing-masing. Begitu juga denganku yang memiliki banyak mimpi. Salah satu mimpiku adalah memiliki kehidupan yang indah dan bahagia. Aku hidup di keluarga yang tidak harmonis. Ayah dan Ibuku selalu bertengkar. Aku sudah lelah dan muak mendengar pertengkaran mereka. Wajar saja jika terkadang aku suka memutar musik dengan keras atau aku memilih kabur dari rumah lewat jendela kamarku untuk menghindari pertengkaran mereka. Jika mood-ku sedang tidak tidak baik, aku juga sering ikut masuk dalam pertengkaran mereka. Aku ingin menghentikan pertengkarn tersebut tapi aku justru kena batunya. Anehnya, adik bungsuku tidak merasakan hal yang sama denganku. Ia merasa nyaman saja dengan pertengkaran orang tuaku. Lagi pula ia disibukkan dengan berbagai macam jadwal les yang ia ikuti.
            “Kenapa kamu belum mengurusi masalah sertifikat tanah itu?” tanya seorang pria paruh baya.
            “Aku ini sibuk, mas. Jadi aku tidak punya waktu untuk mengurusi masalah sertifikat tanah itu. Kamu kan bisa urus sendiri.” jawab seorang wanita yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
            “Apa? Kamu bilang kalau kamu sibuk? Kamu itu santai-santai aja. Aku justru yang sibuk. Aku kan minta tolong ke kamu. Ini kan demi masa depan kita sekeluarga.” cetus sang pria.
            “Aku ini juga sibuk, mas. Kantor kamu kan dekat dengan kantornya.”
            “Ya tapi jadwalku selalu padat. Lihat kamu sekarang juga lagi santai. Sedangkan aku baru pulang dari kantor. Kamu seharusnya mengerti kondisi aku sebagai istri.” bantahnya.
            “Aku ini manusia. Aku juga punya rasa lelah dan letih. Aku juga kerja untuk aku dan anak-anakku.”
            “Halah.. alasan kamu saja. Uang kamu juga dipakai untuk berfoya-foya. Apakah uangku tidak cukup untuk kehidupan kita, hah?” bentaknya.
            “Cukup kok tapi aku juga ingin berkarir. Aku ini punya otak yang cerdas. Sayang kalau tidak digunakan.”
            “Woi kalian yang diluar. Bisa diam tidak? Lagi belajar nih. Besok ada ulangan.” Aku memotong pertengkaran mereka sambil berteriak dari dalam kamar.
            “Lihat itu anakmu. Karena kamu yang sibuk kerja, dia jadi tidak ada yang mengurus. Dia jadi kurang ajar seperti itu.” tuduh sang pria.
            “Loh kenapa aku yang disalahin? Dia kan sudah dewasa. Dia sudah bisa mengurusi dirinya sendiri. Lagipula kamu kan kepala keluarga. Seharusnya kamu yang mendidik dia dengan baik.” cetusnya.
            “Tapi kamu itu ibunya. Kamu yang melahirin dia.” tegasnya.
            “Sudah ah.. aku ngantuk. Aku mau tidur.” Wanita berkepala tiga tersebut pergi ke kamar meninggalkan suaminya yang masih berada di ruang keluarga.
***
            Sejak kecil, kehidupanku sudah diatur oleh orang tuaku. Aku bagaikan robot yang sudah terprogram untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak sang penciptanya. Namun aku mulai sadar bahwa aku tidak bisa terus menerus hidup dalam peraturan orang tuaku. Aku ingin bebas. Aku ingin menggapai impianku. Oleh karena itu, aku mulai menentang apa yang mereka perintahkan. Aku berpikir bahwa mereka juga tidak peduli denganku. Mereka menjadikan aku seperti robot demi kepentingan pribadi mereka.
            “Kamu nanti les bahasa dan kursus komputer ya. Ibu sudah mendaftarkanmu dan membayar biaya masuknya. Ini semua demi masa depan. Besok sore kamu dijemput sama Pak Budi dan langsung pergi ke tempat les bahasamu itu ya.” ucap Ibu.
            “Hah? Kok Ibu tidak mengatakan terlebih dahulu kepadaku? Aku tidak mau. Aku lelah, bu. Aku ingin istirahat.”
            “Loh? Ini kan demi masa depanmu. Kamu harus ikut pokoknya. Ibu sudah mahal bayarnya.”
            “Salah sendiri kenapa Ibu tidak meminta izinku terlebih dahulu. Pokoknya tidak ya tidak. Mau itu mahal atau murah itu urusan ibu. Aku tidak peduli.” bantahku.
            “Kamu kok tidak kasihan dengan Ibu sih? Ibu susah payah mencari uang untuk masa depanmu dan adikmu?”
            “Tapi Ibu juga tidak mengerti perasaanku. Ibu tidak mengerti kondisiku. Aku punya impian sendiri, bu. Tolong mengerti. Ibu sebaiknya keluar deh dari kamarku. Aku mau tidur.”
            “Kamu kok gitu sih? Ibu akan kasih tau Ayah. Biar kamu dimarahi dan diberi nasihat.” ucap Ibu sambil melangkah kakinya keluar dari kamarku.
            “Silahkan.. aku tidak takut dengan Ayah.”
            Aku sangat menyukai musik. Menjadi seorang penyanyi solo yang terkenal adalah salah satu impianku. Di waktu luang, aku sering menggunakannya dengan kemampuan menulis lagu atau menciptakan nada-nada yang sembarang dengan gitar kesayanganku. Aku juga mencoba menjadi penyanyi melalui Youtube. Beberapa video yang aku upload adalah video menyanyiku yang mengcover lagu dari beberapa penyanyi yang aku sukai. Aku juga sering mengupload video menyanyiku dengan lagu karanganku sendiri. Terakhir video yang aku upload adalah video coveranku menyanyi lagu Astronaut dari Simple Plan. Dan aku mendapatkan sekitar 500.000 viewers.
            Meskipun begitu, aku tau bahwa mimpi tersebut kemungkinan terbesar tidak akan pernah tercapai. Orang tuaku akan melakukan segala hal agar aku mengikuti perintah mereka. Mereka akan sangat marah jika mendapatkan aku dalam keadaan sedang bernyanyi atau bermain dengan gitarku. Mereka juga sudah beberapa kali merusak gitarku sehingga aku harus berulang kali untuk memperbaikinya dengan uang saku milikku.
            Alasanku menyukai musik adalah aku dapat merasakan ketenangan yang tidak akan ku dapatkan dari keluargaku ataupun teman-temanku. Aku bisa terus bernyanyi dengan bahagia di dalam kehampaan dan aku bisa meluapkan semua yang aku rasakan melalui musik. Oleh karena itu aku ingin sekali menjadi seorang penyanyi terkenal. Aku ingin pergi dari kehidupan yang tidak harmonis ini dan bertekad untuk tidak pernah kembali ke dalamnya.
            Saat ini aku sedang membuat lagu baruku. Tetapi aku masih mencari-cari nada yang cocok dengan laguku ini. Dan aku perlu merombak kata-kata yang ada pada lirik laguku ini. Aku ingin segera menyelesaikannya. Aku ingin menyanyikannya dan mendapatkan viewers di Youtube lebih banyak lagi. Namun aku harus menunggu gitarku yang sedang diperbaiki. Jari-jari tanganku sudah mulai haus dengan sentuhan senar gitar. Aku ingin menunjukkan kepada orang tentang apa yang aku rasakan saat ini melalu lantunan melody dari lagu yang aku ciptakan.
***
            Aku adalah siswi kelas tiga sekolah menengah atas. Aku menjalani aktivitas sehari-hari di sekolah dengan biasanya seperti murid SMA pada umumnya. Aku juga memiliki teman di sekolah. Meskipun terkadang terlintas di dalam pikiranku mengenai apa arti penting dari sebuah pertemanan itu sebenarnya. Aku memiliki beberapa teman dekat di kelas. Awalnya aku menganggap mereka adalah orang yang bisa mengerti keadaanku dan mau menerimaku dengan apa adanya. Tapi aku disadarkan bahwa mereka hanya ingin memanfaatkan kemampuan yang aku punya. Disaat aku benar-benar membutuhkan mereka, justru mereka tidak ada di sampingku. Satu per satu dari mereka mulai menjauhiku. Aku sangat menyadari hal tersebut. Gerak-gerik dan sikap mereka yang mulai berubah. Sesekali aku melihat mereka bersama dengan orang lain. Mereka bercanda tawa dengan orang lain dan terlihat lebih menyenangkan daripada ketika mereka bersamaku. Aku cemburu. Ya tentu saja aku cemburu. Tapi aku bukan penyuka sesama jenis. Aku iri melihat mereka. Dan aku sedih saat aku sadar bahwa mereka mulai meninggalkanku dan datang kembali saat mereka membutuhkanku.
            “Mizuki, kamu jadi kan menemaniku pergi ke toko kaset hari  ini? Aku ingin menunjukkan kepadamu lagu terbaru dari One Ok Rock. Kau harus mendengarkannya.” pintaku kepada teman yang duduk di sampingku.
            “Maafkan aku.. tapi aku sudah punya janji dengan Minami dan yang lain untuk pergi karoke seusai sekolah.”
            “Tapi kamu kan sudah janji kemarin. Kamu akan menemaniku ke Akihibara.” Ucapku dengan sedih.
            “Ah maaf tapi aku tidak enak jika menolak tawarannya Minami. Kamu kan bisa sendiri atau mengajak orang lain ke sana.” Ia kemudian menampakkan sebuah senyuman. Tapi bagiku senyuman itu adalah senyumana palsu.
            “Tapi aku tidak tau ha---..”
            “Ah aku harus pergi ke toilet. Darurat nih. Maaf ya.” Potongnya. Ia kemudian pergi meninggalkanku dikelas. Aku tidak tau apakah ia benar-benar pergi ke toilet atau justru dia benar-benar menghindariku. Aku merasakan sesak di dada. Ingin aku salahkan semua ini kepada Tuhan. Ia menciptakanku tapi aku tidak dapat hidup bahagia. Aku ingin semua ini berakhir.
            Seperti halnya para perempuan, aku juga bisa jatuh cinta. Aku mulai tertarik dan menyimpan perasaan dengan teman sekelasku sendiri sejak kelas dua. Alasan mengapa aku bisa jatuh hati dengannya adalah dia terlalu baik, bertanggung jawab dan dia memiliki nasib keluarga yang sama denganku. Aku dan dia juga cukup dekat. Belakangan ini aku dan dia sering chatting dan berbagi cerita serta pengalaman. Aku juga mulai nyaman dengan pembicaraannya. Meskipun begitu aku tidak bisa terlalu berharap banyak darinya. Aku takut jika aku akan jatuh dan hanya akan menambahkan rasa sakit di dada.
[20:24, 06/08/2014]
Hey! Lagi apa?
[20:26, 06/08/2014]
Lagi dengerin musik aja. Kamu?
[20:30, 06/08/2014]
Lagi bosen nih hehe.
[20:33, 06/08/2014]
Dengerin musik aja biar gak bosen.
[20:37, 06/08/2014]
Iya deh.
Oh iya, aku mau ngomong sesuatu.
[20:39, 06/08/2014]
Mau ngomong apa nih?
[20:42, 06/08/2014]
Hehe.. aku mau ngomong kalau aku tertarik dengan kamu.
[20:45, 06/08/2014]
Apaan sih?
[20:48, 06/08/2014]
Aku itu seneng bisa dekat dengan kamu.
[20:50, 06/08/2014]
Syukur kalau masih ada orang yang seneng bisa dekat dengan aku.

            Malam itu aku benar-benar merasa bahagia. Aku tidak pernah merasakan sebahagia ini sebelumnya. Aku terus membaca ulang obrolan antara aku dan dia hingga aku terlelap tidur. Aku tidak menyangka bahwa dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Tapi kebahagiaanku ini hanya berlangsung selama dua hari. Aku mendengar kabar bahwa dia telah berpacaran dengan teman sekelasku. Aku seperti dijatuhkan dari atas apartemen. Sakit dan sesak rasanya. Aku tak menyangka. Dia mengatakan tertarik kepadaku dua hari yang lalu tapi mengapa dia justru berpacaran dengan teman sekelasku sendiri. Apakah mungkin dia hanya ingin memanfaatkanku atau dia hanya ingin memainkanku? Aku harusnya sadar saat itu. Dia tak akan mungkin melihatku sebagai perempuan yang ia suka. Aku juga harusnya sadar bahwa aku tak akan pernah merasakan cinta yang tak bertepuk sebelah tangan. Aku benar-benar bodoh. Hal yang aku takuti justru benar-benar terjadi kepadaku. Aku sudah lalai.
***
            Malam ini benar-benar dingin. Sebentar lagi musim dingin akan datang. Aku memutuskan untuk mengambil gitar kesayanganku yang sudah selesai diperbaiki. Aku ingin segera menyanyikan lagu terbaruku. Belakangan ini aku merasakan sakit berturut-turut sehingga aku bisa mendapatkan ide untuk memperbaiki lirik lagu yang sudah lama aku tulis. Aku menikmati setiap hembusan angin malam yang menyentuh kulitku. Aku mempercepat langkahku menuju toko dimana gitarku berada. Aku sangat senang karena aku akan bertemu dengan gitarku. Tetapi kesenangan tersebut hanya sesaat. Aku tak sengaja melihat Ibu dan teman-temannya pergi ke sebuah bar bersama beberapa pria yang lebih muda darinya. Aku tercengang dan kaget melihat pemandangan yang ada didepanku. Mood-ku mulai menurun. Sebenarnya aku sudah sering melihat Ayah atau Ibu-ku bersama lawan jenis mereka dan pergi ke bar. Meskipun begitu tetap saja aku merasa sedih. Hal itu wajar karena aku adalah anak mereka.
            Aku melanjutkan perjalananku. Aku berusaha melupakan yang aku lihat dan tetap fokus pada tujuanku. Namun baru beberapa menit aku melihat Ibuku, aku melihat dia dan pacarnya. Orang yang pernah aku sukai pergi berdua bersama pacar barunya. Sesak di dadaku semakin bertambah. Mood baikku semakin menurun. Mengapa ketika aku baru saja merasa bahagia, aku mendapatkan kesedihan? Aku sering berpikir tentang siapa yang salah. Tuhan, orang tuaku atau justru aku sendiri yang salah? Tanpa aku sadari, air mataku menetes. Aku segera mengusapnya dan kembali fokus kepada tujuanku. Aku harus melupakan atas apa yang aku lihat dengan secepatnya. Aku ingin mengambil gitarku dan segera merekam video menyanyiku serta menguploadnya lagi.
***
            “Aku pulang..” ucapku sambil melepaskan sepatu coklatku dan meletakkannya kembali ke dalam rak sepatu. Namun tak ada yang menjawabku. Aku pergi menuju kamarku yang berada diatas. Aku melihat adikku sedang menonton televisi. Tidak biasanya dia melakukan hal ini. Biasanya ia sedang asyik belajar di kamarnya.
            “Nonton ya? Tidak biasanya kamu nonton?” tegurku.
            “Bukan urusanmu.” ucapnya.
            “Aku kan saudaramu jadi aku wajar jika aku ingin tau apa yang kamu lakukan.”
            “Aku tidak peduli.” Ia kemudian mematikan televisi dan masuk ke kamar. Ia sering mengabaikanku. Ia seperti tidak menganggapku sebagai saudaranya. Aku hanya tercengang dan diam. Aku merasa sedikit sesak. Namun aku segera menyusul pergi ke kamarku. Aku ingin segera memainkan gitarku dan mendengarkan melodi merdu dari gitarku.
            Aku meletakkan tas ke atas kasur dan segera mengambil laptop. Aku membuka webcam. Aku ingin  cepat-cepat menyanyikan lagu yang aku ciptakan sendiri. Aku mengambil gitarku dan memulai memainkannya. Sebelumnya aku telah melatih nada untuk lagu baruku menggunakan gitar yang ada pada klub musik di sekolah. My Song menjadi judul lagu yang tepat untuk lagu ciptaan baruku ini.
Hariku berakhir ketika aku mencoba menemukan tempat melupakan gangguanku
Langit berwarna abu-abu,
membuat aku tak bisa melihat apapun diluar
Orang berfikir seperti mereka punya akal sehat tertawa,
kebohongan apalagi yang mereka katakan berikutnya?
Bagaimana mereka bisa menghargai apa yang mereka dapat dengan kebohongan?
Tapi kita harus bergerak maju, menuju esok hari.
Jadi aku akan bernyanyi seperti ini

Kau mungkin menangis, kau mungkin kesepian
tapi itu sempurna, itulah manusia
air mata yang kau tumpahkan
terimakasih telah memberikan kehidupan kepada kamu-- indah, jujur, dan nyata

            Aku terus menyanyikannya, menikmati setiap nada dan melodi yang dihasilkan dari gitarku. Aku begitu menikmati lagu baruku ini. Aku menyanyi dengah bahagia dalam kehampaan dan kesedihan. Aku sangat menyukai lagu ini dibanding lagu-lagu yang sebelumnya pernah aku ciptakan. Tak terasa air mataku kembali jatuh.
            Brakk!! Sesaat setelah lagu baruku selesai dinyanyikan, aku mendengar hentaman pintu dari kamar otang tuaku. Aku sudah hafal apa yang terjadi. Mereka sedang bertengkar. Dan aku yakin penyebabnya. Ibuku baru pulang dan pasti ia dalam keadaan mabuk. Hatiku bergetar. Aku tergerak untuk keluar untuk melihat apa yang terjadi dan menghentikan pertengkaran mereka yang akan mulai.
            “Kamu itu tau kalau aku sibuk. Aku ini capek, mas! Aku juga butuh hiburan!”
            “Banyak alasan. Kalau gitu lebih baik kita cerai saja. Aku lelah hidup sama kamu.”
            “Kamu tidak bisa menceraikanku. Aku tidak mau!” ucap Ibu.
            “Kalau tidak mau ya berhenti bekerja!” bentak Ayah.
            “Aku tidak mau! Aku ingin bekerja!”
            “Kalau begitu lebih baik kamu mati saja.” Ayah kemudian mendorong Ibu mendekati pagar tangga lantai atas. Wajah Ayah terlihat sangat menyeramkan. Ia sudah seperti pembunuh.
            “Hentikan mas. Hentikan! Aku mohon! Maafkan aku!” rengek Ibu.
            “Aku tidak peduli. Kau sangat menyebalkan.” Ayah terus mendorong Ibu. Sedangkan Ibu terus menahan Ayah dengan sekuat tenaganya. Aku terdiam lemah atas apa yang aku lihat. Kakiku gemetar. Aku melihat ke arah adikku yang keluar dari kamarnya. Ia hanya bisa tercengang. Aku berjalan menuju Ayah dan Ibuku. Aku ingin menghentikan mereka. Aku sudah lelah. Aku tak ingin mereka menambahkan beban dalam hidupku.
            “Hentikan!!!” teriakku sambil melerai kedua orang tuaku. “Hentikan Ayah!!! Hentikan!.” Aku menarik lengah Ayah yang berada di bahu Ibu tapi Ayah tidak memperdulikanku. Ia mendorongku hingga aku jatuh. Aku bangkit kembali dan menarik lengan Ayah kembali. “Ayahhh!!!!” Aku berteriak. Tapi Ayah tetap saja mengabaikanku. Tiba-tiba tangan kekarnya itu mendorongku dengan keras hingga aku jatuh berguling-guling di tangga ke lantai bawah. Tubuhku terasa sakit. Tulangku remuk. Kepalaku terhentak di setiap anak tangga. Aku bisa mendengar suara teriakan Ibu sebelum pandanganku berubah menjadi gelap.
***
            Aku mulai membuka kedua mataku. Aku melihat sebuah cahaya terang yang menyilaukanku. Dan aku melihat sesosok seorang berbadan besar yang menggunakan jubah hitam. Aku bertanya-tanya tentang keberadaanku. Aku tak melihat siapa pun selain pria yang bertubuh besar itu. Aku berada di sebuah ruangan putih yang kosong dan hampa. A ku tidak ingat apa yang telah terjadi padaku. Tubuhku terasa kaku dan dingin. Mulutku terasa berat untuk bertanya hingga aku dapat mendengar suara yang awalnya samar-samar menjadi jelas.
            “Ia mengalami radang pada otaknya karena darahnya yang menggupal. Maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkata lain.” Aku tak mengenali suara pria tersebut tapi aku menduga bahwa dia adalah seorang dokter dari apa yang ia bicarakan. Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari seorang wanita yang suaranya sudah tak asing bagiku. Ya dia pasti itu adalah Ibuku. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi. Aku tak melihat apa-apa tapi aku bisa mendengar sesuatu.
            “Kau terjatuh dari tangga dan aku datang untuk menyelamatkanmu.” Ujar seorang pria besar itu. Suaranya begitu berat dan menyeramkan. Seketika aku teringat apa yang telah terjadi. Aku terjatuh dari tangga. Tapi aku tak mengerti apa yang telah terjadi setelahnya. Otakku tak mampu berpikir saat ini. Aku teringat bahwa aku juga pernah mengalami hal yang sama. Aku menjadi korban dari pertengkaran orang tuaku. Ibuku pernah tak sengaja mendorongku hingga kepalaku terhentak keras di meja dapur yang terbuat dari batu. Kepalaku berdarah saat itu dan aku terjatuh pingsan. Saat itu aku dirawat lebih dari dua minggu di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa aku mengalami penggumpalan darah di otak. Aku juga perlu melakukan terapi. Tapi akhir-akhir ini aku merasakan sakit kembali di kepalaku. Aku tak punya waktu untuk memeriksanya. Aku baru menyadari bahwa ini ada hubungannya mengapa aku bisa berada disini. Kepalaku terhantuk kembali saat aku jatuh dari tangga.
            “Ayo kita pergi. Kau akan pergi ke dunia yang berbeda dari manusia.” Pria tersebut membubarkan lamunanku. Aku sekarang mengerti. Aku sudah berada di dunia yang berbeda. Alasan Ibuku menangis tadi adalah karena aku tidak bisa diselamatkan lagi. Aku terdiam sejenak. Haruskah aku sedih atau bahagia? Aku akan pergi meninggalkan orang tuaku dan tak akan pernah mendengarkan pertengkaran kedua orang tuaku lagi. Namun banyak hal yang masih aku sesali. Aku belum sempat menggapai impianku. Aku masih belum menunjukkan kepada dunia lagu baruku yang menjadi lagu terbaik yang pernah aku ciptakan. Dan aku masih ingin bernyanyi. Lagi-lagi impianku tak tercapai dan aku tak tau siapa yang harus disalahkan. Aku pernah berpikir untuk menyalahkan Tuhan karena ia menciptakanku tanpa memberikan kebahagiaan kepadaku. Namun ini juga salah orang tuaku yang tidak pernah memperdulikan aku sebagai anak mereka. Tapi aku juga pernah berpikir mungkin akulah yang salah. Semuanya sudah selesai. Kehidupanku yang kelam dan impianku sudah lenyap. Aku tidak mampu berbuat apa-apa selain ikut pergi dengan pria besar berjubah hitam yang menyeramkan itu.
Hetalia: Axis Powers - Norway